TANAH DATAR - Sebuah istana megah berdiri di kota Batusangkar, Tanah Darat, Sumatra Barat bernama Istana Bas Pagaruyung. Kental dengan khas Minang, istana Basa atau yang dikenal Istana Pagaruyung ini berbentuk Rumah Gadang. Lengkap dengan gonjong, ujung runcing pada bagian atap bak tanduk.
Mempertahankan nilai-nilai tradisionalnya, terhitung ada 11 gonjong yang menghiasi atap istana ini. Uniknya, 11 gonjong ini terbuat dari 26 ton serat ijuk. Tidak heran, jika warna atap ini berwarna cokelat tua kehitaman.
Rumah panggung besar ini bertingkat tiga. Setiap lantainya memiliki keistimewaan masing-masing. Detail ornamen-ornamen akar, bunga dan daun terukir indah. Bermain dengan warna-warna cerah. Terlihat kontras namun keindahannya berhasil membuat setiap pengunjung terpukau.
Istana Basa Pagaruyung berdiri kokoh dengan 72 tiang yang menopang. Bagian dalam interior Istana Basa didominasi dengan kayu-kayu mengkilap. Ornamen-ornamen kayu nampak menghiasi bagian dalam Istano Baso. Material kayu ini dihias dengan 60 ukiran yang menjelaskan filosofi dan budaya Minangkabau.
Jika diamati lebih detail, rupanya tiang-tiang di Istana Baso tidak berdiri tegak. Tiang tersebut miring kekiri dan ada pula yang miring ke kanan. Hal ini berfungsi agar tiang di Istana Basa Pagaruyung bisa menahan gempa.
Dari 72 tiang hanya satu yang tegak lurus dan berada tepat ditengah ruangan lalu dilapisi kain berwarna kuning . Ini adalah tiang pertama yang didirikan saat istana dibangun dan disebut sebagai tonggak tuo. Tiang tersebut sekaligus merupakan simbol peran perempuan sebagai pewaris dan pemelihara harta, itulah juga kenapa singgasana ibu raja berada tepat di tengah ruangan.
Tiang yang lainnya adalah simbol pria, pria sebagai pemimpin dimasyarakat yang akan memperkuat kehidupan dan struktur masyarakat karena memang fungsi asli tiang-tiang yang miring ini adalah untuk memperkokoh struktur bangunan agar tidak rusak atau roboh apabila terjadi gempa bumi. Seperti diketahui bahwa dataran tinggi sumatera dilewati oleh The Great Sumatran Fault, penyebab gempa pun tidak hanya di darat tetapi juga di laut, dengan beradaptasi dengan alam sesuai dengan filosofi hidup alam takambang jadi guru maka terciptalah struktur seperti ini.
Setiap tiang dibangun tanpa paku dan tanpa beton, hanya menggunakan pasak dan ikat saja. Kelebihan lainnya adalah setiap tiang berdiri di atas batu sandi, tidak dikubur didalam tanah sehingga nanti jika terjadi tremor akibat gempa bumi, tidak ada kecenderungan rumah akan roboh ke sisi manapun.
Berbeda dengan struktur tiang yang tegak lurus dan dibangun dengan paku serta beton yang cenderung kaku dan mudah patah apabila terjadi gempa. Kehebatan struktur penyangga istana Pagaruyung membuat beberapa ahli dunia penasaran dan mengirimkan mahasiswanya untuk datang dan melakukan penelitian.
Di dalam ruangan istana terdapat banyak warna yang muncul dari kain/tirai yang menjadi ornamen. Beberapa warna yang memiliki arti khusus yaitu hitam dan kuning. Warna hitam adalah warna yang biasanya digunakan oleh pemuka adat dan bangsawan itulah kenapa warna yang menghiasai anjuang Rajo Babandiang adalah warna hitam.
Tepat di depan anjuang Rajo Babandiang ini terdapat patung yang melambangkan raja, ibunda raja dan datuk atau penghulu yang kesemuanya memakai baju berwarna hitam. Konon salah satu versi mengenai sejarah perang paderi mengatakan bahwa kelompok yang bertikai bukan disebut sebagai kelompok adat dan agama tetapi mereka disebut sebagai orang hitam dan putih. Orang putih adalah orang paderi yang melambangkan diri mereka dengan pakaian serba putih.
Orang hitam mewakili kelompok adat karena mereka mengenakan pakaian serba hitam. Selain hitam ada juga warna kuning yang digunakan untuk anjuang Perak tempat ibuda raja sebagai simbol adat. Warna-warna lain di dalam istana tidak terlalu berpengaruh, justru warna pada bendera yang berkibar di depan istana lah yang berpengaruh.
Menurut cerita turun temurun disebutkan bahwa nenek moyang orang minang adalah 3 orang bersaudara. Saudara tertua adalah Maharaja Ali, yang kedua Maharaja Depang dan yang terakhir Maharaja Diraja. Ketiganya adalah putra dari Sultan Iskandar Zulkarnaen dari daerah yang sangat jauh.
Mereka berlayar dengan tiga kapal, kemudian melihat puncak gunung Marapi yang jika dilihat dari kejauhan ukurannya sebesar telur itik. Ketiganya pun memutuskan menambatkan kapal dan beristirahat di sana. Akan tetapi terjadi sebuah keributan diantara ketiganya, sehingga membuat Maharaja Ali dan Maharaja Depang memutuskan untuk meninggalkan daerah ini, sedangkan Maharaja Diraja tetap tinggal di puncak gunung Marapi.
Ketika air laut turun dan daratan naik, beliau kemudian menaruko atau merambah daerah tersebut dan mulai membangun pemukiman. Nama desa pertama yang dibangun adalah Pariangan. Pemukiman terus berkembang hingga sampai ke daerah tempat berdirinya Istana Pagaruyung. Daerah itu kemudian dinamakan Tanah Datar dan diberi simbol warna kuning sebagai simbol asal usul adat.
Setelah itu masyarakat semakin berkembang, banyak pendatang bermukim dan berbaur di Tanah Datar, mereka lalu pergi ke arah Bukittinggi membangun daerah kedua bernama Agam lalu diberi tanda warna merah sebagai simbol keberanian karena mereka hidup di daerah yang berada diantara Gunung Marapi dan Gunung Singgalang. Setelah itu mereka pergi lagi dan menyebar ke daerah 50 Kota yaitu Lembah Harau yang merupakan daerah yang keras. Mereka menyimbolkan dengan warna hitam dengan arti “ tak lekang oleh panas tak lapuk oleh hujan”.
Dalam perkembangannya ada pula orang yang menyamakan simbol warna ini dengan karakter masyarakat yang hidup ditiga tempat tersebut. Kuning itu kolot atau sangat menjunjung tinggi adat, sementara merah itu revolusioner dan pemberani sedangkan hitam itu berarti sangat keras dan teguh.
Salah satu karakter tokoh nasional dengan warna-warna ini seperti kuning untuk karakter milik Muhammad Yamin yang memang berasal dari Luhak Tanah Datar, warna merah mewakili karakter Muhammad Hatta yang datang dari daerah Agam, dan warna hitam mewakili karakter Tan Malaka.
Ketiga daerah ini disebut daerah darek yaitu daerah asli orang Minangkabau. Diluar daerah tiga warna ini kita disebut sebagai rantau. Terdiri dari rantau darek dan rantau pesisir. Rantau darek biasanya masih berada di dataran tinggi sementara rantau pesisir berada di pesisir atau deket laut. Wilayah Minangkabau sendiri cukup luas, konon meliputi wilayah Sumatera Barat, sumatera Selatan, Riau, Jambi dan sampai ke Negeri Sembilan Malaysia.
Tradisi yang berkembang pada wilayah darek dan pesisir juga berbeda. Orang darek itu lebih kaku dan sedikit sekali unsur-unsur dari luar yang masuk sementara orang-orang dipesisir itu lebih banyak interaksinya dengan orang-orang dari luar. Contoh lainnya, orang darek itu tidak ada tradisi membeli pengantin laki-laki namun apabila kita pergi kedaerah pesisir seperti Pariaman, ketika seorang wanita ingin menikah dengan seorang pria dari status sosial tertentu seperti Sidi, Sutan, Bagindo atau Marah maka mereka harus membayar atau istilahnya memeberikan uang manjamput.
Baca juga:
LTMNU Bogor : Gerakan Wakaf Al-Qur'an
|
Semua referensi tentang tradisi dan falsafah masyarakat Minangkabau bisa kita temuai di Musium Istano Basa Pagaruyung yang terletek di Jl. Sutan Alam Bagarsyah, Jorong Pagaruyung, Nagari Saruaso, Kecamatan Tanjung Emas, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat.
Penulis : Joni Hermanto
Sumber : Akun Suci Rifani www.kompasiana.com